Tarian Indonesia mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman suku
bangsa dan budaya Indonesia. Terdapat lebih dari 700 suku bangsa di
Indonesia: dapat terlihat dari akar budaya bangsa Austronesia dan Melanesia,
dipengaruhi oleh berbagai budaya dari negeri tetangga di Asia bahkan
pengaruh barat yang diserap melalui kolonialisasi. Setiap suku bangsa di
Indonesia memiliki berbagai tarian khasnya sendiri; Di Indonesia
terdapat lebih dari 3000 tarian asli Indonesia. Tradisi kuno tarian dan
drama dilestarikan di berbagai sanggar dan sekolah seni tari yang
dilindungi oleh pihak keraton atau akademi seni yang dijalankan pemerintah.
Untuk keperluan penggolongan, seni tari di Indonesia dapat
digolongkan ke dalam berbagai kategori. Dalam kategori sejarah, seni
tari Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga era: era kesukuan prasejarah,
era Hindu-Buddha, dan era Islam. Berdasarkan pelindung dan pendukungnya,
dapat terbagi dalam dua kelompok, tari keraton (tari istana) yang
didukung kaum bangsawan, dan tari rakyat yang tumbuh dari rakyat
kebanyakan. Berdasarkan tradisinya, tarian Indonesia dibagi dalam dua
kelompok; tari tradisional dan tari kontemporer.
Tari bercorak prasejarah atau tari suku pedalaman
Sebelum bersentuhan dengan pengaruh asing, suku bangsa di kepulauan
Indonesia sudah mengembangkan seni tarinya tersendiri, hal ini tampak
pada berbagai suku bangsa yang bertahan dari pengaruh luar dan memilih
hidup sederhana di pedalaman, misalnya di Sumatera (Suku Batak, Nias, Mentawai), di Kalimantan (Suku Dayak, Punan, Iban), di Jawa (Suku Baduy), di Sulawesi (Suku Toraja, Suku Minahasa), di Kepulauan Maluku dan di Papua (Dani, Asmat, Amungme).
Banyak ahli antropologi percaya bahwa tarian di Indonesia berawal dari gerakan ritual dan upacara keagamaan.[2] Tarian semacam ini biasanya berawal dari ritual, seperti tari perang, tarian dukun
untuk menyembuhkan atau mengusir penyakit, tarian untuk memanggil
hujan, dan berbagai jenis tarian yang berkaitan dengan pertanian seperti
tari Hudoq dalam suku Dayak. Tarian lain diilhami oleh alam, misalnya Tari Merak dari Jawa Barat. Tarian jenis purba ini biasanya menampilkan gerakan berulang-ulang seperti tari Tor-Tor dalam suku Batak yang berasal dari Sumatera Utara.
Tarian ini juga bermaksud untuk membangkitkan roh atau jiwa yang
tersembunyi dalam diri manusia, juga dimaksudkan untuk menenangkan dan
menyenangkan roh-roh tersebut. Beberapa tarian melibatkan kondisi mental
seperti kesurupan yang dianggap sebagai penyaluran roh ke dalam tubuh penari yang menari dan bergerak di luar kesadarannya. Tari Sanghyang Dedari adalah suci tarian istimewa di Bali,
dimana gadis yang belum beranjak dewasa menari dalam kondisi mental
tidak sadar yang dipercaya dirasuki roh suci. Tarian ini bermaksud
mengusir roh-roh jahat dari sekitar desa. Tari Kuda Lumping dan tari keris juga melibatkan kondisi kesurupan.
Tari bercorak Hindu-Buddha
Dengan diterimanya agama dharma di Indonesia, Hinduisme dan Buddhisme
dirayakan dalam berbagai ritual suci dan seni. Kisah epik Hindu seperti
Ramayana, Mahabharata dan juga Panji
menjadi ilham untuk ditampilkan dalam tari-drama yang disebut
"Sendratari" menyerupai "ballet" dalam tradisi barat. Suatu metode tari
yang rumit dan sangat bergaya diciptakan dan tetap lestari hingga kini,
terutama di pulau Jawa dan Bali. Sendratari Jawa Ramayana dipentaskan
secara rutin di Candi Prambanan, Yogyakarta; sementara sendratari yang bertema sama dalam versi Bali dipentaskan di berbagai Pura di seluruh pulau Bali. Tarian Jawa Wayang orang
mengambil cuplikan dari episode Ramayana atau Mahabharata. Akan tetapi
tarian ini sangat berbeda dengan versi India. Meskipun sikap tubuh dan
tangan tetap dianggap penting, tarian Indonesia tidak menaruh perhatian
penting terhadap mudra
sebagaimana tarian India: bahkan lebih menampilkan bentuk lokal. Tari
keraton Jawa menekankan kepada keanggunan dan gerakannya yang lambat dan
lemah gemulai, sementara tarian Bali lebih dinamis dan ekspresif. Tari
ritual suci Jawa Bedhaya dipercaya berasal dari masa Majapahit
pada abad ke-14 bahkan lebih awal, tari ini berasal dari tari ritual
yang dilakukan oleh gadis perawan untuk memuja Dewa-dewa Hindu seperti Shiwa, Brahma, dan Wishnu.
Di Bali, tarian telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual suci Hindu Dharma. Beberapa ahli percaya bahwa tari Bali berasal dari tradisi tari yang lebih tua dari Jawa. Relief dari candi
di Jawa Timur dari abad ke-14 menampilkan mahkota dan hiasan kepala
yang serupa dengan hiasan kepala yang digunakan di tari Bali kini. Hal
ini menampilkan kesinambungan tradisi yang luar biasa yang tak terputus
selama sedikitnya 600 tahun. Beberapa tari sakral dan suci hanya boleh
dipergelarkan pada upacara keagamaan tertentu. Masing-masing tari Bali
memiliki kegunaan tersendiri, mulai dari tari suci untuk ritual
keagamaan yang hanya boleh ditarikan di dalam pura, tari yang
menceritakan kisah dan legenda populer, hingga tari penyambutan dan
penghormatan kepada tamu seperti tari pendet. Tari topeng juga sangat populer di Jawa dan Bali, umumnya mengambil kisah cerita Panji yang dapat dirunut berasal dari sejarah Kerajaan Kediri abad ke-12. Jenis tari topeng yang terkenal adalah tari topeng Cirebon dan topeng Bali.
Tari bercorak Islam
Sebagai agama yang datang kemudian, Agama Islam
mulai masuk ke kepulauan Nusantara ketika tarian asli dan tarian dharma
masih populer. Seniman dan penari masih menggunakan gaya dari era
sebelumnya, menganti kisah cerita yang lebih berpenafsiran Islam dan
busana yang lebih tertutup sesuai ajaran Islam. Pergantian ini sangat
jelas dalam Tari Persembahan dari Jambi. Penari masih dihiasi perhiasan
emas yang rumit dan raya seperti pada masa Hindu-Buddha, tetapi
pakaiannya lebih tertutup sesuai etika kesopanan berbusana dalam ajaran
Islam.
Era baru ini membawa gaya baru dalam seni tari: Tari Zapin Melayu dan Tari Saman Aceh menerapkan gaya tari dan musik bernuansa Arabia dan Persia,
digabungkan dengan gaya lokal menampilkan generasi baru tarian era
Islam. Digunakan pula alat musik khas Arab dan Persia, seperti rebana,
tambur, dan gendang yang menjadi alat musik utama dalam tarian bernuansa
Islam, begitu pula senandung nyanyian pengiring tarian yang mengutip
doa-doa Islami.
Pendukung
Tari keraton
Tarian di Indonesia mencerminkan sejarah panjang Indonesia. Beberapa
keluarga bangsawan; berbagai istana dan keraton yang hingga kini masih
bertahan di berbagai bagian Indonesia menjadi benteng pelindung dan
pelestari budaya istana. Perbedaan paling jelas antara tarian istana
dengan tarian rakyat tampak dalam tradisi tari Jawa. Strata masyarakat
Jawa yang berlapis-lapis dan bertingkat tercermin dalam budayanya. Jika
golongan bangsawan kelas atas lebih memperhatikan pada kehalusan, unsur
spiritual, keluhuran, dan keadiluhungan; masyarakat kebanyakan lebih
memperhatikan unsur hiburan dan sosial dari tarian. Sebagai akibatnya
tarian istana lebih ketat dan memiliki seperangkat aturan dan disiplin
yang dipertahankan dari generasi ke generasi, sementara tari rakyat
lebih bebas, dan terbuka atas berbagai pengaruh.
Perlindungan kerajaan atas seni dan budaya istana umumnya digalakkan
oleh pranata kerajaan sebagai penjaga dan pelindung tradisi mereka.
Misalnya para Sultan dan Sunan dari Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta terkenal sebagai pencipta berbagai tarian keraton lengkap dengan komposisi gamelan
pengiring tarian tersebut. Tarian istana juga terdapat dalam tradisi
istana Bali dan Melayu, yang bisanya—seperti di Jawa—juga menekankan
pada kehalusan, keagungan dan gengsi. Tarian Istana Sumatra seperti
bekas Kesultanan Aceh, Kesultanan Deli
di Sumatera Utara, Kesultanan Melayu Riau, dan Kesultanan Palembang di
Sumatera Selatan lebih dipengaruhi budaya Islam, sementara Jawa dan Bali
lebih kental akan warisan budaya Hindu-Buddhanya.
Tari rakyat
Tarian
Indonesia menunjukkan kompleksitas sosial dan pelapisan tingkatan
sosial dari masyarakatnya, yang juga menunjukkan kelas sosial dan
derajat kehalusannya. Berdasarkan pelindung dan pendukungya, tari rakyat
adalah tari yang dikembangkan dan didukung oleh rakyat kebanyakan, baik
di pedesaan maupun di perkotaan. Dibandingkan dengan tari istana
(keraton) yang dikembangkan dan dilindungi oleh pihak istana, tari
rakyat Indonesia lebih dinamis, enerjik, dan relatif lebih bebas dari
aturan yang ketat dan disiplin tertentu, meskipun demikian beberapa
langgam gerakan atau sikap tubuh yang khas seringkali tetap
dipertahankan. Tari rakyat lebih memperhatikan fungsi hiburan dan sosial
pergaulannya daripada fungsi ritual.
Tari Ronggeng dan tari Jaipongan suku Sunda
adalah contoh yang baik mengenai tradisi tari rakyat. Keduanya adalah
tari pergaulan yang lebih bersifat hiburan. Seringkali tarian ini
menampilkan gerakan yang dianggap kurang pantas jika ditinjau dari sudut
pandang tari istana, akibatnya tari rakyat ini seringkali
disalahartikan terlalu erotis atau terlalu kasar dalam standar istana.
Meskipun demikian tarian ini tetap berkembang subur dalam tradisi rakyat
Indonesia karena didukung oleh masyarakatnya. Beberapa tari rakyat
tradisional telah dikembangkan menjadi tarian massal dengan gerakan
sederhana yang tersusun rapi, seperti tari Poco-poco dari Minahasa Sulawesi Utara, dan tari Sajojo dari Papua.
Tradisi
Tari tradisional
Tari
tradisional Indonesia mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman bangsa
Indonesia. Beberapa tradisi seni tari seperti; tarian Bali, tarian Jawa,
tarian Sunda, tarian Minangkabau, tarian Palembang, tarian Melayu,
tarian Aceh, dan masih banyak lagi adalah seni tari yang berkembang
sejak dahulu kala, meskipun demikian tari ini tetap dikembangkan hingga
kini. Beberapa tari mungkin telah berusia ratusan tahun, sementara
beberapa tari berlanggam tradisional mungkin baru diciptakan kurang dari
satu dekade yang lalu. Penciptaan tari dengan koreografi baru, tetapi
masih di dalam kerangka disiplin tradisi tari tertentu masih
dimungkinkan. Sebagai hasilnya, muncullah beberapa tari kreasi baru.
Tari kreasi baru ini dapat merupakan penggalian kembali akar-akar
budaya yang telah sirna, penafsiran baru, inspirasi atau eksplorasi seni
baru atas seni tari tradisional.
Sekolah seni tertentu di Indonesia seperti Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Bandung, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di Jakarta, Institut Seni Indonesia (ISI) yang tersebar di Denpasar, Yogyakarta, dan Surakarta
kesemuanya mendukung dan menggalakkan siswanya untuk mengeksplorasi dan
mengembangkan seni tari tradisional di Indonesia. Beberapa festival
tertentu seperti Festival Kesenian Bali dikenal sebagai ajang ternama
bagi seniman tari Bali untuk menampilkan tari kreasi baru karya mereka.
Tari kontemporer
Seni tari kontemporer Indonesia meminjam banyak pengaruh dari luar, seperti tari balet dan tari modern
barat. Pada tahun 1954, dua seniman dari Yogyakarta — Bagong Kusudiarjo
dan Wisnuwardhana — merantau ke Amerika Serikat untuk belajar ballet
dan tari modern dengan berbagai sanggar tari disana. Ketika kembali ke
Indonesia pada tahun 1959 mereka membawa budaya berkesenian baru, yang
pada akhirnya mengubah arah, wajah dan pergerakan dan koreografi baru,
mereka memperkenalkan gagasan seni tari sebagai ekspresi pribadi sang
seniman ke dalam seni tari Indonesia.[3]
Gagasan seni tari sebagai media ekspresi pribadi seniman telah
membangkitkan seni tari Indonesia, dari yang semula selalu berlatar
tradisi menjadi ekspresi seni, melalui paparan sang seniman terhadap
berbagai latar belakang seni dan budaya yang lebih luas dan kaya. Seni
tari tradisional Indonesia juga banyak memengaruhi seni tari kontemporer
di Indonesia, misalnya langgam tari Jawa berupa pose dan sikap tubuh
serta keanggunan gerakan seringkali muncul dalam pagelaran seni tari
kontemporer di Indonesia. Kolaborasi internasional juga dimungkinkan,
misalnya kolaborasi seni tari Jepang Noh dengan seni tari teater tradisional Jawa dan Bali.
Tari modern Indonesia juga seringkali ditampilkan dalam dunia industri hiburan dan pertunjukan Indonesia, misalnya tarian pengiring nyanyian, pagelaran musik, atau panggung hiburan. Kini dengan derasnya pengaruh budaya pop dari luar negeri, terutama dari Amerika serikat, beberapa tari modern seperti tari jalanan (street dance) juga merebut perhatian kaum muda Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar